Kamis, 12 November 2009

LUKISAN PRASEJARAH ITU ADA DI GUA HARIMAU

"Ini sangat spektakuler dan akan merubah paradigma lama di Indonesia". Itu kira-kira makna ucapan saya ketika Wahyu Saptomo, ketua tim Penelitian Gua Harimau 2009, menginformasikan penemuan lukisan di gua itu. Kenapa tidak, selama ini sudah tertancap di benak para arkeologi, bahwa lukisan karang (rock painting) prasejarah tidak dikenal di Indonesia Barat. Namun seiring penemuan-penemuan baru di Kalimantan beberapa tahun yang lalu, pandangan itu menyempit pada wilayah Sumatra dan Jawa saja. Kini dengan penemuan di Gua Harimau, pandangan yang telah termodifikasi itu pun agaknya harus ditinggalkan.
Sore itu saya benar-benar penasaran mendengan informasi sepotong itu. Kebetulan hari itu saya dan beberapa anggota tim lainnya lagi “off” di Gua Harimau, karena mengeksplorasi gua-gua lain di sekitarnya. Rasa penasaran saya pun berubah menjadi yakin, ketika dalam briefing sehabis makan malam Wahyu memperlihatkan foto-foto lukisan itu. Dia pun bercerita tentang penemuan yang tidak diduga itu. Siang itu selagi menghabiskan masa istrahat makan, Wahyu dan Indra, anggota tim lainnya, tertarik melihat pojok timur gua yang terisi oleh blok-blok gamping yang manaik ke atas gua. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada gambar-gambar yang terlukis di dinding dan langit-langit gua. Segera dia memberitahu Indra yang sedang mencari alat-alat serpih di lantai pojok gua dan seketika itu pula, anggota tim lain yang sedang ngobrol di lokasi ekskavasi di bagian tangah halaman gua, dipanggil Indra, hingga semuanya bergegas menuju lokasi lukisan.
Gua Harimau, begitu penduduk menyebutnya, sebuah gua di perbukitan karst, berjarak sekitar 2 km di selatan desa Padang Bindu yang dilewati jalan Trans Sumatra Baturaja-Muara Enim. Konon dulunya gua ini merupakan tempat kediaman harimau, sehingga hampir tidak seorang pun berani memasukinya, bahkan pencari saang lawet sekali pun. Lokasi gua ini pun tersembunyi di lereng perbukitan dan untuk mencapainya harus memanjat tebing perbukitan yang cukup terjal. Kanopi pepohonan besar dan dan semak belukar yang menutupi lereng bukit, semakin menyembunyikan gua ini hingga tak seorang pun tahu, ketika berada di Kali Aman Basa yang mengalir di bawah gua, akan keberadaan gua besar itu.
Adalah bapak Ferdinata (50 tahun), penduduk Padang Bindu yang pertama kali menginformasikan keberadaan gua ini ketika di tahun 2008, kami di sela-sela penelitian Gua Karang Pelaluan yang juga di wilayah Padang Bindu mampir di Gua Putri, gua lain yang sekarang dijadikan obtyek wisata. Ceritanya yang menggambarkan kondisi gua dengan halaman yang sangat luas, membuat kami tertarik untuk meninjaunya. Setelah melalui jalan setapak yang berlumpur di tengah hutan, menyeberangi Kali, dan mendaki lereng bukit dengan terengah-engah, kami pun sampai di gua yang diceritakan. Benar, gua sangat besar dengan pintu masuk yang lebar dan tinggi dan bagian depan yang merupakan pelataran yang luas. Tetapi karena jauh dari sentuhan kaki manusia, pelataran itu pun tertutup oleh tanaman merambat. Baru setelah memotongi tanaman itu tampak alat-alat serpih batu dan pecahan-pecahan tembikar jaman prasejarah di permukaannya, dan penemuan ini sekaligus meyakinkan kami untuk merencanakan penelitian intensif di tahun berikutnya.

Figuratif dan Non-Figuratif
Lukisan di Gua Harimau terpusat di pojok timur gua dengan sebagian besar pada permukaan dinding yang agak rata. Bahan lukisan yang berwarna merah-kecoklatan akan segera menarik perhatian orang yang berada di sana. Sambil mendongak ke atas kita dapat melihat jelas lukisan-lukisan yang mencengangkan. Pada pandangan pertama, mata kita seolah diarahkan melihat lukisan terbesar berupa anyaman tikar berbentuk segi empat dan di sampingnya terdapat gambar anyaman lagi – juga berbentuk segi-empat, tetapi bertindihan dengan gambar hewan melata (ular?) yang melewati tikar dengan moncong ke atas. Gambar serupa juga dijumpai di bagian lain. Di bawahnya lagi, terlihat seekor hewan berkaki empat- menyerupai rusa. Di sekeliling kedua panel ini masih terdapat lukisan-lukisan: ada yang menyerupai rusa dan ada pula berbentuk ayam dengan ekor yang memanjang miring ke atas. Lukisan-lukisan lainnya sudah tidak menampakkan bentuk asli, karena sudah terhapus. Bagian yang terlihat berupa kaki-kaki hewan, sementara lainnya tinggal gambar-gambar terputus.
Di bagian lain masih banyak lukisan yang terlihat, baik yang agak utuh maupun yang sudah rusak. Beberapa di antaranya menggambarkan hewan menyerupai anjing dan hewan lain yang sulit dikenali. Ada juga gambar-gambar kumpulan garis-garis lurus sejajar vertical, belah ketupat, bulatan-bulatan yang tersusun oleh tiga lingkaran konsentris. Atau gambar yang kelihatannya sekedar olesan cat memanjang pada bagian permukaan yang menonjol, sehingga memfantasikan hewan melata. Di bagian lain tampak pula coretan-coretan berjejer menyerupai tulisan dan gambar-gambar lain yang sulit dikenali karena sudah terhapus.
Keseluruhan lukisan tersebut dapat dibedakan dalam kelompok figuratif berupa benda atau makhluk nyata yang mungkin menggambarkan kehidupan dan kondisi lingkungan yang nyata di kala itu dan kelompok non-figuratif. Kelompok pertama mengkait dengan benda atau. Di sini kita berhadapan dengan produk budaya dalam bentuk tikar sebagai hasil anyaman. Ada pula hewan rusa, anjing, ayam, dll yang di samping hewan liar yang hidup dilingkungan sekitar, kemungkinan – beberapa di antaranya – sudah merupakan hewan domestikasi. Lukisan yang termasuk kelompok abstrak diekspressikan dalam bentuk geometris dan garis-garis. Belum jelas makna dari gambar-gambar itu, tetapi bisa jadi merupakan lambang atau symbol yang mengkait dengan nilai-nilai atau alam pikir si pembuat dan masyarakat di kala itu. Pada Jaman Prasejarah sebagai awal kelahiran seni, seni karang (rock art) mengandung makna budaya, lingkungan, dan sekaligus keindahan.
Posisi lukisan yang cukup tinggi dan tidak mungkin terjangkau tangan manusia berdiri pada dinding gua mengindikasikan pembuatannya yang sulit – mungkin dengan tangga, tetapi untuk lukisan yang di bagian langit-langit, cukup dalam posisi berdiri atau duduk di atas blok gamping yang mengisi ruangan gua. Jika melihat warna lukisan yang monokrom merah-kecoklatan, bisa jadi bahannya dari hematite, oker, atau getah tumbuh-tumbuhan. Analisis laboratoris terhadap bahan memang belum dilakukan, sehingga belum diketahui bahan yang digunakan. Penemuan awal ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab, sehingga menjadi tantangan untuk penelitian lanjutan.

Paradigma Baru
Penemuan lukisan di Gua harimau membuka pandangan baru dalam studi seni karang. Dalam konteks lokal penemuan ini mengisyaratkan Gua Harimau tidak sendiri, tetapi besar kemungkinan ada gua lain yang juga mengandung lukisan. Memang dari sekitar 20 gua yang telah dieksplorasi tim kerjasama Puslitbang Arkenas dan IRD Prancis di awal tahun 2000-an, tidak menemukan lukisan gua, kecuali jejak-jejak hunian dari rentang sekitar 9000-2000 tahun yang lalu. Kondisi inilah yang memperkuat anggapan bahwa lukisan prasejarah tidak ada di wilayah karst Padang Bindu dan sekitarnya.
Kenyataan lukisan Gua harimau telah membalikkan anggapan itu, bahkan dalam konteks makro, memberikan pandangan baru tentang sebaran lukisan gua. Jika selama ini para arkeolog meyakini Sumatra dan Jawa tidak tersentuh oleh seni karang, dengan penemuan ini, anggapan itu menjadisirna. Sumatra (dan barangkali Jawa) sama dengan pulau-pulau lain di nusantara yang mengkonservasi lukisan gua. Budaya seni karang (rock art) yang terbagi atas seni lukis (rock painting) seni pahat (rock carving), dan seni gores (rock engraving), kenyataan tersebar luas di wilayah Indonesia Timur, khususnya di Papua, Sulawesi, dan Maluku. Wilayah sebaran meluas ke wilayah Filipina dan Asia Tenggara daratan, hingga ke Melanesia Barat dan Australia. Di wilayah Kakadu di bagian utara Australia, lukisan gua bahkan sudah dikenal sejak sekitar 30.000 tahun yang lalu. Ada dugaan, wilayah ini merupakan salah satu pusat lukisan gua di dunia dengan sebaran ke Melanesia Barat dan Asia Tenggara.
Pusat lukisan gua lainnya terdapat di kawasan Eropa Barat, khususnya di wilayah Prancis dan Spanyol. Kita masih ingat master piece lukisan-lukisan gua yang mendunia di Gua Lascaux, Prancis Baratdaya dan di Gua Altamira, Spanyol dari Budaya Magdalenian, Paleolitik Atas dengan pertanggalan sekitar 17.000-15.000 tahun yang lalu. Tapi harus diingat penemuan belum lama ini di Gua Chavet dan Cosquer di Prancis Selatan, memperlihatkan lukisan gua sudah dikenal sejak ca. 32.000 tahun yang lalu dalam rentang perkembangan budaya Aurignacian di Eropa.
Bagaimana dengan lukisan gua di Indonesia? Sepengetahuan saya, kita belum memiliki pertanggalan absolut tentangnya. Sejauh ini pertanggalannya baru didasarkan pada analisis kontekstual, dimana lukisan-lukisan umumnya terdapat di gua-gua yang mengkonservasi jejak-jejak hunian dari paruh pertama Holosen. Diduga lukisan gua merupakan bagian dari budaya Preneolitik, budaya yang berkembang sejak akhir Jaman es sekitar 12000 tahun lalu hingga kemunculan Penutur Austronesia di sekitar 4000 tahun lalu. Gua dan ceruk alam menjadi pusat aktivitas manusia di kala itu. Selain sebagai lokasi hunian, gua dimanfaatkan sebagai lokasi perbengkelan pembuatan alat-alat dari batu dan tulang serta lokasi penguburan. Sisa aktivitas dijumpai dalam bentuk alat-alat serpih, alat tulang, sisa tulang hewan buruan, perapian, alat-alat perhiasan, dan kubur-kubur manusia pendukung budaya tersebut.
Bagaimana dengan lukisan Gua Harimau, apakah kontemporer atau bagian yang tidak terpisahkan dari kompleks lukisan gua Indonesia Timur, atau terpisah dari budaya yang lebih kemudian? Jawaban pertanyaan ini masih sangat hipotetis. Kenyataan bahwa lukisan berada pada sebuah gua yang mengkonservasi tidak hanya tinggalan dari kehidupan berburu dan meramu Preneolitik, tetapi juga dari periode sesudahnya – kehidupan menetap Neolitik yang ditampakkan oleh tinggalan kubur-kubur manusia yang sangat menonjol di dalam gua. Pembuatan lukisan ini boleh jadi bagian dari salah satu budaya tersebut. Jika identifikasi anjing dan ayam benar ada dalam lukisan, maka data ini merujuk pada budaya Neolitik yang telah mendomestikasikan hewan. Namun perlu dicatat, sejauh ini lukisan gua lebih diasosiasikan pada budaya Preneolitik, bukan Neolitik.
Di sisi lain, studi regional lukisan gua lebih merujuk pada budaya Preneolitik. Kenyataan lukisan Gua Harimau memiliki kesamaan-kesamaan dengan lukisan gua Preneolitik pada umumnya. Cat tunggal yang berwarna coklat-kemerahan sangat umum dijumpai pada lukisan di Indonesia Timur, walaupun di wilayah ini ada juga menggunakan pigmen hitam dan putih. Demikian juga lukisan figuratif yang bercampur dengan non-figuratif sangat umum dijumpai pada lukisan-lukisan gua. Perbedaan-perbedaan yang ada lebih pada jenis-jenis figur (hewan, dll) dan motif-motif lukisan, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan pemikiran komunitas setempat.
Silang argumen di atas merupakan contoh yang menegaskan perlunya penelitian lanjut di Gua Harimau. Penemuan ini baru pada tataran awal yang membuka perspektif baru dalam penelitian arkeologi di Indonesia. Kini sebuah tantangan dihadapkan pada kita untuk menelusuri arti dan fungsinya, tidak hanya dalam konteks budaya lokal, tetapi terlebih lagi dalam budaya regional di masa lampau.

Truman Simanjuntak
Ahli Peneliti pada Pusat penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Direktur Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS)
simanjuntaktruman@gmail.com

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda