Minggu, 15 November 2009

Pluralisme

Dunia satu, tapi isinya beragam. Lingkungan, manusia, dan budaya tiga unsur yang saling mengkait, tidak terpisahkan satu sama lain. Keragaman lingkungan mempengaruhi keragaman manusia dan, tentu saja, budayanya sebagai proses adaptasi. Ini sebuah thesis yang tidak terbantahkan dan yang akan terus eksis selama dunia masih ada.

Dengan demikian, dunia sebagai satu kesatuan jagad identik dengan keragaman. Keragaman itu pula yang menjadikan segala yang di dalamnya indah, keragaman itulah yang menjadikan kehidupan colorful, membentuk mosaik yang indah. Bayangkan jika semuanya sama, apa yang terjadi? Ahh.. tidak perlu membayangkannya, karena tidak mungkin itu terjadi. Kesamaan manusia, kesamaan keinginan, kesamaan rupa, atau keamaan apa lagi... akan membuat dunia hancur seketika, tidak mampu memfasilitasinya.

Itulah hakikat yang melekat pada dunia dan segala isinya. Pluralisme sebuah keniscayaan yang membuat hidup dan kehidupan penuh warna dan dinamika. Walaupun semua berawal dari akar yang sama, tapi alam menciptakan kekhasan-kekhasan bagi semua makhluk.

So.., kenapa manusia mencoba mengingkarinya hingga bermusuhan satu sama lain? Mengapa satu kelompok melihat kelompok lain sebagai musuh yang harus dienyahkan? Mengapa kita tidak menonjolkan persaudaraan, hingga menjadi kaya dalam perbedaan? Bukankah hidup akan lebih indah jika semuanya saling menghargai dan berinteraksi satu sama lain?

Mari kita ciptakan kebersamaan dalam keragaman. Sifat saling menghargai kita mulai dari diri kita sendiri, hingga berkembang ke kelompok, komunitas, etnisitas, hingga bangsa untuk menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang pluralis.

Truman Simanjuntak


Label: ,

Kamis, 12 November 2009

BENARKAH KAPAK GENGGAM DITEMUKAN DI HALMAHERA?

Keheranan dan Rasa Penasaran
Semula saya terheran-heran ketika di sekitar awal tahun 2000-an G.J. Bartstra, seorang ahli prasejarah Belanda yang banyak meneliti situs-situs paleolitik di Indonesia - tetapi kemudian “totally resigned” dari profesinya - menginformasikan adanya penemuan kapak genggam di Halmahera. Di kala itu memang saya tidak begitu “concern” dengan informasi itu, karena belum melihat urgensi dari penemuan itu. Namun setelah membaca tulisannya bersama Dr. Susan Keats tentang kapak genggam Wallanae dengan judul “Island migration of early modern Homo sapiens in Southeast Asia: the artifacts from the Wallanae Depression, Sulawesi, Indonesia”, diterbitkan dalam majalah Palaeohistoria no. 33/34, 1991/1992 oleh A.A Balkema pada tahun 1994, keheranan dan penasaran saya menjadi semakin timbul. Bukankah kapak genggam termasuk alat paleolitik yang sangat khas dan sering dihubungkan dengan budaya Acheulean, budaya Paleolitikyangberkembang di Afrika sejak 1,4 juta tahun yang lalu dan di Eropa di sekitar 0,8 juta tahun yang lalu? Bagaimana bisa terjadi Halmahera yang keletakannya jauh di timur Indonesia sana terjangkau oleh peralatan litik yang paling khas dari manusia tertua itu? Bukankah selama ini pulau-pulau di Maluku dan Papua, bahkan hingga Pasifik sangat jarang terjangkau budaya Paleolitik yang paling umum sekalipun di Indonesia – budaya chopper/ chopping tools?
Itulah lingkup keheranan yang muncul di benak saya di kala itu dan untuk lebih meyakinkannya, saya membaca kalimat-kalimat yang mengkait dengan kapak genggam Halmahera beberapa kali. Dalam artikel itu, penulis membandingkan kapak genggam dari Situs Wallanae, Sulawesi Selatan dengan kapak genggam Pacitanian dari Kali Baksoka dan dari Halmahera dengan merefer pada penemuan orang lain (Sayang penulisnya tidak menyertakan foto, sehingga sulit membayangkan bentuk dan performance alat tersebut). Berikut ini saya kutip keterangan selengkapnya tentang pembandingan itu:
“The morphology and size of these artifacts (Wallanae handaxes) is very similar to an artifact collected by H.G.A. van Panhuys in southeastern Halmahera, Indonesia”. This specimen is in silicified limestone and described as an “handaxe” on a river pebble (coble, 13 x 11 cm)”.

Inilah foto handaxe yang dilaporkan penemunya dari Halmahera. Foto ini baru saja (setelah eksplorasi) saya dapatkan dari Dr. Marijke Klokke, dosen senior dari University of Leiden. Jika melihat morfoteknologinya, alat ini sangat typical -berbentuk jantung dengan pemangkasan yang sungguh maju. Bahan gamping kersikan semacam ini jarang ditemukan di wilayah dieksplorasi.


Menyangkut morfo-teknologinya, lebih jauh dikatakan dalam tulisan tersebut:
“ In their shape and in the technique of mainly vertical flake removal, the pointed partial bifaces and the pointes uniface from Sulawesi and the specimen from Halmahera are very similar to Pacitanian artifacts, classified as handaxes or “proto-handaxes”.
Rasa penasaran saya pun semakin timbul di balik informasi penemuan itu, hingga serangkaian pertanyaan cabang muncul dalam pemikiran. Pertanyaan paling awal tentu menyangkut manusia pembuatnya: manusia purba Homo erectus kah atau Homo sapiens yang muncul kemudian, sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungannya? Jika yang pertama, maka penemuan itu bisa menjadi a new topical issue: “Homo erectus mencapai Halmahera”, kira-kira akan sama hangatnya dengan berita penemuan artefak di Cekungan Soa oleh para peneliti Belanda-Indonesia-Australia di tahun 90-an yang diduga produk Homo erectus (Moorwood et al. 1997; 1998). Pertanyaan-pertanyaan ranting pun bermunculan, dan salah satu di antaranya menyangkut erectus yang mana dan dari periode mana?
Jika perkiraan yang kedua yang benar, isu hangat baru juga akan muncul. “Homo sapiens membuat kapak genggam?” Isu ini tentu berita yang sangat asing di telinga, karena sejauh ini belum pernah diberitakan di bagian dunia mana pun. Rangkaian pertanyaan selanjutnya akan menyangkut kapan perkembangannya di Halmahera dan bagaimana keberlanjutannya. Tentu jika memang benar, penemuan ini akan memiliki makna regional. Penemuan kapak genggam sebagai produk Homo sapiens awal akan mencerahkan penemuan-penemuan serupa di wilayah Indonesia Timur lainnya dan bahkan di sebagian wilayah Indonesia Barat - khususnya kapak genggam yang ditemukan di daerah-daerah aliran sungai.
Kira-kira seperti itulah setting pemikiran yang terbentuk atas dasar informasi Bartsra beberapa tahun berselang dilengkapi dengan tulisannya bersama Susan Keats di atas. “Informasi yang terbatas akan menimbulkan pertanyaan yang tidak terbatas”, itulah yang terjadi dengan kapak genggam Halmahera. Rasa penasaran untuk mengetahui lebih jauh tentang penemuan itu pun selalu muncul, manakala ada diskusi tentang Paleolitik Indonesia dan Asia Tenggara. Sudah barang tentu, rasa penasaran itu tidak akan pernah sirna, kecuali lewat penemuan data baru di lapangan. Atas dasar itulah maka kegiatan eksplorasi di Halmahera 2009 ini diadakan untuk menjajagi kebenaran tulisan itu. Bermodalkan peta yang menggambarkan kondisi geografis Halmahera, kami pun melakukan penelusuran terhadap daerah-daerah aliran sungai untuk mengamati keberadaan artefak dan kondisi lingkungannya. Bentang alam yang kami prioritaskan untuk diamati adalah daerah aliran sungai, pantai, dan dataran, karena pada kondisi-kondisi semacam itulah kehidupan tertua umumnya ditemukan.
Wilayah eksplorasi kami meliputi sepanjang pesisir timur Kabupaten Halmahera Utara dari Galela di utara hingga Tobelo di selatan. Kami juga menelusuri sisi barat yang melingkupi pesisir Jailolo di utara hingga Desa Bale di selatan. Sementara wilayah “tangan dan kaki” pulau yang di bagian timur dan selatan tidak sempat tereksplorasi, karena kesulitan akses dan waktu penelitian yang terbatas. Hasil eksplorasi memang belum serta merta memberikan jawaban yang pasti tentang keberadaan kapak genggam di Halmahera, tetapi setidaknya telah setapak lebih maju dalam member jawaban atas permasalahan utama penelitian. Eksplorasi itu pun memberi pemahaman baru tentang potensi geografis dan lingkungan Halmahera dan sekitarnya dalam penelusuran kehidupan masa lampau-sekarang.

Kondisi Lingkungan
Dalam perspektif geografis, Halmahera yang terletak pada koordinat 0o36’ LU dan 127o52’ BT ini sebetulnya merupakan pulau yang terbesar di lingkungan kepulauan Maluku, namun beritanya tidak semenonjol luasnya. Populasi pulau yang luasnya mencapai 17780 Km2 itu memang masih tergolong jarang (tidak sampai 200.000 jiwa) dan tidak memiliki kota-kota sebesar Ternate atau Ambon misalnya, sehingga mempengaruhi kepopulerannya. Namun sesungguhnya pulau yang dikelilingi oleh gugusan kepulauan ini menempati posisi geografis yang strategis dalam wilayah kepulauan Indonesia Timur- Pasifik (Peta 1). Dikelilingi laut dalam, konon selama waktu geologi, pulau ini tidak pernah terhubung dengan pulau-pulau besar di sekitarnya (Sulawesi, Papua), sehingga kedatangan manusia dan hewan sejak jaman yang tua pastilah melalui penyeberangan laut. Bentuknya yang unik mengingatkan kita pada Pulau Sulawesi, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Secara umum menyerupai huruf “K” (spider-like shape: Hall 1996), dengan dua daratan “kaki” yang selonjor ke arah selatan dan tenggara serta leher-kepala memanjang ke utara dan sebuah tangan ke arah timurlaut. Di antara kaki, tangan, dan kepala terbentuk teluk-teluk yang luas, seperti Teluk Kao di timurlaut, Buli di timur, dan Weda di tenggara.
Pulau Halmahera umumnya diliputi oleh barisan pegunungan yang memanjang di bagian tengah daratan, beberapa di antaranya merupakan gunung api yang masih aktif, seperti misalnya Gunung Gamkonora (1635 m). Gugusan pegunungan yang umumnya masih hijau dan alami itu menjadi sumber air utama yang mengaliri dataran lewat sungai-sungai hingga bermuara di laut (Peta 2). Namun mengingat daratan-daratan yang tidak begitu luas, aliran-aliran tersebut jarang yang berkembang menjadi sungai besar sebelum bermuara ke laut. Tercatat hanya beberapa sungai yang tergolong besar di pulau ini, di antaranya Sungai Tioba, Malifut, dan Kao. Dalam perjalanannya, sering air dari pegunungan tersebut tertampung lebih dulu pada cekungan-cekungan hingga membentuk danau, sebelum kemudian dialirkan oleh sungai ke laut. Beberapa di antara danau (telaga) tersebut adalah Telaga Biru, Duma, dan Paca. Keberadaan sungai dan danau sebagai sumber air dan sumberdaya yang melingkupinya memberikan multiplier effect pada berbagai aspek: Ketersediaan air menjadikan lingkungan yang subur, hingga ditumbuhi berbagai jenis vegetasi. Lingkungan bio-diversitas seperti ini menarik berbagai jenis hewan untuk mendiaminya. Lebih jauh, kekayaan flora dan fauna serta berbagai sumberdaya lingkungan lainnya menarik manusia untuk mengeksploitasi dan mendiaminya.
Menelusuri wilayah pesisir Halmahera sejauh yang dapat terjangkau selama eksplorasi 2009 cukup mengasjikkan, karena lewat penelusuran itu kita dapat mengenal kondisi geografis dan sumberdayanya, termasuk sumberdaya arkeologinya. Dalam perspektif geografi, pulau ini terletak di tengah kepulauan yang menghubungkan wilayah Sulawesi di barat dan Papua dengan pulau-pulau di sekitarnya di timur. Dari keletakan tersebut pulau ini memang cocok batu loncatan dalam persebaran manusia dan hewan di lingkup regional, lebih-lebih jika didukung ketersediaan berbagai sumberdaya. Bayangkan saja ada sumberdaya pegunungan yang memanjang di bagian tengah daratan dengan produk hutannya, ada sumberdaya dataran dengan lahan-lahan perkebunan, perladangan dan persawahan, dan tidak kalah pentingnya, ada pula sumberdaya laut dengan biota airnya di sepanjang pesisir.

Data Hunian Lokal dan Regional: Keraguan akan Kapak Genggam
Keragaman sumberdaya lingkungan yang tersedia dan dilengkapi dengan keletakannya yang strategis itu, tentu menjadi daya tarik bagi manusia untuk mendiami pulau ini. Jika merujuk pada posisi geografi Halmahera sebagai jalur migrasi strategis menuju Australia, sementara hunian tertua di benua selatan ini memperlihatkan jejak-jejaknya di sekitar 60.000-50.000 BP, maka pulau ini mestinya sudah dihuni manusia sebelum atau paling tidak di sekitar periode tersebut. Namun kenyataan, bukti-bukti hunian tertua masih jauh lebih muda. Merujuk hasil-hasil penelitian Peter Bellwood (1998), sejarah hunian Halmahera dan seputarnya dimulai sejak 30.000-an tahun yang lalu. Gua Golo di Pulau Gebe di tenggara Halmahera, sebagai situs tertua (ca. 33.000-3.500 BP) menggambarkan hingga ca.12.000 BP, hunian bahkan masih jarang dan terputus-putus. Jejak aktivitas terbatas pada alat-alat serpih, cangkang dan batuan terbakar. Menjelang akhir periode, seperti ditampakkan penemuan dari Gua 2, Daeo di Pulau Morotai dari ca. 15.000 BP, mulai tampak eksploitasi buah kenari di samping pembuatan alat-alat serpih dari batu pebble pantai.
Aktibitas hunian mulai intensif di antara 12.000- 3300 BP, ditampakkan oleh situs-situs hunian yang semakin banyak. Selain kedua situs hunian berlanjut di atas, ada Gua Siti Nafsiah di Halmahera, Gua Uattamdi di Pulau Kayoa (ca. 3.500-<900 BP) ceruk Tanjung Pinang di Morotai (ca. 14.000-1.000 BP), dan Um Kapat Papo di Pulau Gebe. Penemuan di ceruk Tanjung Pinang di pulau Morotai di sekitar 10.000-1.500 BP memperlihatkan penghuni gua sudah mempraktekkan kubur-kubur sekunder, sementara penemuan dari Um Kapat Papo mengindikasikan adanya perburuan wallaby. Periode ketiga hunian wilayah ini berlangsung di sekitar 3300 BP dengan masuknya penutur dan budaya Austronesia yang memperkenlkan tembikar slip merah, perhiasan cangkang, beliung batu diupam, dan awal domestikasi babi dan anjing. Setelah itu Halmahera dan sekitarnya memasuki periode protosejarah di sekitar 2000 BP ditandai dengan maraknya perdagangan insuler dengan kepulauan Indonesia barat, masuknya benda-benda perunggu, manic-manik, tembikar dengan hias gores, dan praktek-praktek penuburan sekunder di dalam tempayan.
Kembali ke manusia penghuni pertama Halmaherta, jika melihat data regional di atas, maka yang paling mungkin adalah manusia anatomi modern (Homo sapiens tertua). Dalam periode paruh kedua Plestosen Atas, setidaknya sejak 30.000-an tahun yang lalu, kawasan Asia Tenggara, Melanesia Barat, dan Australia sudah dihuni manusia modern awal ini (Simanjuntak 2005) dan hunian Halmahera termasuk bagian hunian itu. Namun terlepas dari itu, mungkinkah sudah ada hunian manusia sebelumnya atau mungkinkah Homo erectus sudah mencapai Halmahera? Rasanya tidak, karena untuk sampai ke pulau ini (lewat Asia Daratan atau Jawa misalnya) mengharuskan mereka menyeberangi banyak selat dan lautan luas. Dalam hal ini dibutuhkan penguasaan teknologi pembuatan alat transportasi air, yang agaknya baru dikenal jauh kemudian. Lagi pula sejauh ini belum ada temuan artefaktual dan ekofaktual yang meyakinkan akan keberadaan hunian purba di wilayah kepulauan Maluku.
Jika demikian – jika sekiranya ditemukan dan jika keberadaan kapak genggam di Halmahera dibenarkan - siapa pembuat alat-alat tersebut? Masih sulit memberi jawaban pasti akan pertanyaan ini, namun atas dasar pemikiran-pemikiran di atas, jawaban yang lebih memungkinkan tentunya manusia modern awal tadi. Tetapi bukankah budaya manusia sapiens ini berbeda dari Homo erectus – yang umumnya menampilkan alat-alat serpih? Ooh nanti dulu, tidak selalu harus demikian, bukankah lifestyle dan produk budaya banyak dipengaruhi lingkungan? Kan bisa jadi kondisi lingkungan hunian di pulau ini lebih mendorong manusia penghuninya membuat perangkat peralatan yang sederhana seperti yang digolongkan dalam himpunan alat Paleolitik.
Terlepas dari berbagai asumsi di atas, penelusuran tim eksplorasi 2009 di sepanjang pesisir yang terjangkau mengesankan absennya budaya paleolitik di pulau ini. Pada berbagai sungai besar-kecil yang kami eksplorasi tidak satupun memperlihatkan kandungan artefak Paleolitik yang meyakinkan. Memang di sungai Ngaoli di wilayah Kao dan sungai Bale di selatan tim eksplorasi menemukan “artefak” dengan pecahan-pecahan yang terbatas dan tidak terpolakan pada sisi tertentu, karakter yang diragukan sebagai pengerjaan manusia dan yang lebih condong akibat pecahan alamiah (benturan di kala proses sedimentasi, dll). Singkatnya statusnya sebagai artefak masih dipertanyakan.
Tambahan catatan bahwa Halmahera didominasi batuan vulkanik dengan dominasi batuan sedimen berbutir kasar (andesit, dll). Jenis batuan ini, di satu sisi mudah dipangkas untuk menghasilkan alat sederhana (kelompok chopper/ copping tools), sehingga mudah dikenali jika memang ada. Di sisi lain batuan berbutir kasar sangat sulit dikerjakan untuk menghasilkan alat yang sophisticated lewat pemangkasan-pemangkasan intensif, seperti yang kita jumpai pada kapak genggam. Faktor ini menyebabkan kapak genggam jarang dibuat dari jenis batuan tersebut. Dalam pengamatan kami selama eksplorasi, batuan kersikan yang sangat digemari untuk bahan pembuatan alat sederhana atau sophisticated, sangat jarang di wilayah pengamatan. Memang di sungai-sungai tertentu dijumpai butiran-butiran kwarsa dan dalam beberapa hal kersikan, tetapi tidak ditemukan artefak.
Walaupun hasil eksplorasi dan analisis di atas mengarah pada keraguan akan keberadaan kapak genggam (dan paleolitik pada umumnya) di Halmahera, kita belum buru-buru memastikan ketiadaan kapak genggam di pulau ini. Setidaknya masih tersisa aspek yang perlu dianalisis. Penyebutan lokasi penemuan kapak genggam yang oleh penemunya disebut dari Halmahera baratdaya: daerah yang mana dan dimanakah itu? Dalam administratif pemerintahan tidak dikenal nama kabupaten yang meggunakan arah baratdaya, demikian juga dari sudut geografis tidak ada bagian dari pulau yang terletak di baratdaya, yang ada ialah bagian selatan, yakni “kaki” pulau yang di sebelah barat yang menjulur ke selatan.
Kenyataan yang ada di baratdaya Halmahera adalah gugusan pulau yang memanjang utara-selatan, sejajar dengan pulau Halmahera. Salah satu di antaranya adalah Pulau Bacan, pulau yang tergolong besar dan termasuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Selatan. Untuk sampai ke pulau ini harus menyeberangi laut dengan kapal dari Ternate, sementara dari Halmahera pelayaran agak terbatas. Mungkinkah lokasi yang dimaksud pulau Bacan? Jika ya, mengapa penemunya tidak menyebut saja nama pulaunya? Sayang sekali eksplorasi 2009 tidak sempat menjangkau pulau ini karena keterbatasan waktu dan kesulitan transportasi, namun hal ini perlu menjadi perhatian di lain kesempatan.

Paleolitik Regional
Berbagai kemungkinan hasil analisis tadi lebih mengarah pada “meniadakan” kapak genggam dari Halmahera daripada “mengiakan”. Setidaknya informasi penemuan kapak genggam “somewhere di Halmahera baratdaya” lemah kebenarannya – jika tidak membingungkan. Masalahnya data paleolitik regional pun kurang mendukung informasi itu, karena selama ini berita tentang paleolitik - lebih-lebih penemuan kapak genggam - hampir tidak terdengar di wilayah kepulauan Maluku. Sepanjang pengetahuan, batas paling timur wilayah sebaran Paleolitik adalah Sulawesi Selatan (Heekeren 1972; Keats and Bartsra 1994). Sekedar mengingatkan, kompleks situs paleolitik dengan lokalitas-lokalitas di sepanjang Sungai Wallanae di wilayah ini memang sangat kaya akan artefak Paleolitik dengan himpunan alat yang didominasi kelompok kapak perimbas-penetak, termasuk tinggalan fosil-fosil hewan purba yang kaya, antara lain dari jenis Archidiskodon celebensis, Stegodon sompoensis, Celebochoerus heekereni, Anoa depressicornis, dan Testudo margae.
Di kawasan Indonesia Timur lainnya, situs-situs Paleolitik dilaporkan di Timor Timur dan Timor Barat, termasuk di Pulau Sumba, Sawu, dan Flores (Soejono 1984; Heekeren 1972). Di antaranya penemuan yang paling meyakinkan dan sudah dipertanggal adalah di wilayah Cekungan Soa yang terdiri dari belasan lokalitas. Di sini, dalam penelitian di tahun 90-an, tim kerjasama Indonesia, Belanda, dan Australia menemukan alat-alat paleolitik (chopper/ chopping tools) berasosiasi dengan fosil-fosil hewan purba dari jenis stegodon, kura-kura raksasa, komodo, dll berumur di sekitar 800.000 tahun yang lalu (Moorwood et al 1997; 1998). Dalam kaitannya dengan penemuan kapak genggam, R.P. Soejono (1984) menyebut-nyebut keberadaannya di Situs Wangka, Flores (Soejono 1984). Kebenaran dari laporan ini juga masih memerlukan pengecekan lebih jauh, baik lewat analisis koleksi artefak hasil penelitian terdahulu maupun lewat penelitian lapangan. Permasalahan, penemuan-penemuan di situs-situs paleolitik di Flores dan Indonesia Timur umumnya tidak menemukan kapak genggam dan umumnya termasuk kelompok kapak perimbas-penetak.

Tantangan ke Depan
Mengamati diagnostik jaringan paleolitik yang diuraikan di atas, menjadi jelas kepada kita bahwa masih banyak permasalahan paleolitik yang belum terpecahkan, baik dalam konteks lokal dan regional, maupun konteks kawasan Asia Tenggara dan Timur. Eksplorasi 2009 di Halmahera belum dapat menjawab pasti pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Sejujurnya eksplorasi ini baru langkah awal yang belum memberikan konfirmasi tentang keberadaan kapak genggam di pulau ini, tetapi membuka pencerahan baru tentang arti pentingnya pendalaman isu ini ke depan, bahkan tidak hanya dalam konteks Halmahera, tetapi juga dalam kawasan Indonesia Timur pada umumnya.
Dalam kaitan inilah persebaran kapak genggam yang masih kabur di Indonesia menjadi isu menarik, karena menyangkut perkembangan budaya Paleolitik lokal-regional dan bahkan global. Kita tentu mengikuti pandangan atau hipotesis baru yang diwacanakan akhir-akhir ini tentang adanya migrasi pembawa budaya Acheulean disekitar 0,8 juta tahun yang lalu ke Asia Tenggara dan Timur (Simanjuntak et al. in press). Hipotesis ini didasarkan atas penemuan-penemuan kapak genggam dan kapak pembelah yang kontemporer dari 800.000 BP di Ngebung, Jawa (Semah et al 2000; Semah 2001) dan di China (Hou et al. 2000) dan daerah lainnya di kawasan Asia (Simanjuntak 2008). Dalam hal ini pemahaman tentang sebaran kapak genggam menjadi sangat penting untuk mengetahui luas sebarannya di masa lampau dan cul de sac hingga budaya ini ditinggalkan. Atas dasar itulah maka eksplorasi dan penelitian intensif sangat urgen dikembangkan pada situs-situs dan wilayah timur Indonesia, wilayah yang masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan lebih dari wilayah barat
Dalam konteks lokal, penelitian 2009 telah memulai penelusuran budaya Paleolitik di Halmahera. Setidaknya telah tergambarkan jaringan permasalahan yang menarik dipecahkan ke depan. Dalam hal ini eksplorasi yang intensif di bagian yang belum tereksplorasi dalam penelitian kali ini perlu dilanjutkan, khususnya di Pulau Bacan dan daerah “kaki” selatan pulau. Siapa tahu Halmahera Baratdaya yang disebut-sebut tempat penemuan kapak genggam, adalah salah satu di antara wilayah ini. Oleh sebab itu informasi Bartstra dan tulisannya tentang kapak genggam yang disebutkan di awal tulisan ini hendaknya menjadi pemicu intensifikasi penelitian di Halmahera. Melalui upaya pencarian yang berkelanjutan - walau dengan berbagai kesulitan yang dihadapi sekalipun – pertanyaan ada-tidaknya kapak genggam di Halmahera niscaya terjawab.

809-ts

Daftar Bacaan

Hall, Robert 1996. Reconstructing Zenoic SE Asia. Dalam Hall, R. & Blundell, D. (eds.) 1996. Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London Special Publication No. 106, pp. 153-184.
Heekeren, H.R, van. 1972. The Stone Age of Indonesia. Verhandelingen van het koninklijk, instituut voor Tall-, Land-en Volkenkunde 61, The Hague: Martinus Nijhoof.
Hou, Yamei, Richard Potts, Yuan Baoyin, Guo Zhengtang, Alan Deino, Wang Wei, Jennifer Clark, Xie Guangmao, Huang Weiwen. 2000. Mid-Pleistocene Acheulean-like Stone Technology of the Bose Basin, South China. Science. Vol 287, No. 5458; 3 March 2000. pp.1622-1626
Keats, Susan & G.J. Bartstra. 1994. Island migration of early modern Homo sapiens in Southeast Asia: the artifacts from the Wallanae Depression, Sulawesi, Indonesia. Palaeohistoria. no. 33/34 tahun 1991/1992. A.A Balkema .
Moorwood et al. xx Morwood, M.J., F. Aziz, G.D. van den Berg, P.Y. Sondaar, and John de Vos. 1997. Stone artefacts from the 1994 excavation at mata Menge, West Central Flores, Indonesia. Australian Archaeology, 44. 1997: 26-34.
Morwood, M.J., P.B.O’Sullivan, F. Aziz, and A. Raza. 1998. Fission-track ages of stone tools and fossils on the east Indonesian island of Flores. Nature. Vol 392. 1998: 173-176.
Bellwood, Peter. 1998. From bird’s head to bird’s eye view; long term structures and trends in Indo-Pacific prehistory. Dalam Miedema et al. (eds.). Perspectives on the Bird’s head of Irian Jaya, Indonesia. Proceeding of the conference. Amsterdam: Rodopi. Hal. 951-975.
Sémah, F. 2001. La position stratigraphique du site de Ngebung 2 (Dôme de Sangiran, Java Central, Indonésie). Colloque International: Origine des peuplements et chronologie des cultures paléolithiques dans le Sud-est Asiatique, Paris : Semenanjung, pp. 299-330.
Sémah, F., G. Feraud, H. Saleki, C. Falgueres & T. Djubiantono. 2000. Did early man reach Java during the Late Pliocene? Journal of Archaeological Science, 27:763-769.
Simanjuntak, Truman, François Sémah, and Claire Gaillard. In press. The Palaeolithic in Indonesia: Nature and Chronology. Paper presented at the International colloquium “The oldest human expansions in Eurasia. Favouring and limiting factors. Paris: Muséum National d’Histoire Naturelle.
Soejono, R.P., (ed). 1984. Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Balai Pustaka.



Truman Simanjuntak
Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS)
simanjuntaktruman@gmail.com

Label: ,

LUKISAN PRASEJARAH ITU ADA DI GUA HARIMAU

"Ini sangat spektakuler dan akan merubah paradigma lama di Indonesia". Itu kira-kira makna ucapan saya ketika Wahyu Saptomo, ketua tim Penelitian Gua Harimau 2009, menginformasikan penemuan lukisan di gua itu. Kenapa tidak, selama ini sudah tertancap di benak para arkeologi, bahwa lukisan karang (rock painting) prasejarah tidak dikenal di Indonesia Barat. Namun seiring penemuan-penemuan baru di Kalimantan beberapa tahun yang lalu, pandangan itu menyempit pada wilayah Sumatra dan Jawa saja. Kini dengan penemuan di Gua Harimau, pandangan yang telah termodifikasi itu pun agaknya harus ditinggalkan.
Sore itu saya benar-benar penasaran mendengan informasi sepotong itu. Kebetulan hari itu saya dan beberapa anggota tim lainnya lagi “off” di Gua Harimau, karena mengeksplorasi gua-gua lain di sekitarnya. Rasa penasaran saya pun berubah menjadi yakin, ketika dalam briefing sehabis makan malam Wahyu memperlihatkan foto-foto lukisan itu. Dia pun bercerita tentang penemuan yang tidak diduga itu. Siang itu selagi menghabiskan masa istrahat makan, Wahyu dan Indra, anggota tim lainnya, tertarik melihat pojok timur gua yang terisi oleh blok-blok gamping yang manaik ke atas gua. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada gambar-gambar yang terlukis di dinding dan langit-langit gua. Segera dia memberitahu Indra yang sedang mencari alat-alat serpih di lantai pojok gua dan seketika itu pula, anggota tim lain yang sedang ngobrol di lokasi ekskavasi di bagian tangah halaman gua, dipanggil Indra, hingga semuanya bergegas menuju lokasi lukisan.
Gua Harimau, begitu penduduk menyebutnya, sebuah gua di perbukitan karst, berjarak sekitar 2 km di selatan desa Padang Bindu yang dilewati jalan Trans Sumatra Baturaja-Muara Enim. Konon dulunya gua ini merupakan tempat kediaman harimau, sehingga hampir tidak seorang pun berani memasukinya, bahkan pencari saang lawet sekali pun. Lokasi gua ini pun tersembunyi di lereng perbukitan dan untuk mencapainya harus memanjat tebing perbukitan yang cukup terjal. Kanopi pepohonan besar dan dan semak belukar yang menutupi lereng bukit, semakin menyembunyikan gua ini hingga tak seorang pun tahu, ketika berada di Kali Aman Basa yang mengalir di bawah gua, akan keberadaan gua besar itu.
Adalah bapak Ferdinata (50 tahun), penduduk Padang Bindu yang pertama kali menginformasikan keberadaan gua ini ketika di tahun 2008, kami di sela-sela penelitian Gua Karang Pelaluan yang juga di wilayah Padang Bindu mampir di Gua Putri, gua lain yang sekarang dijadikan obtyek wisata. Ceritanya yang menggambarkan kondisi gua dengan halaman yang sangat luas, membuat kami tertarik untuk meninjaunya. Setelah melalui jalan setapak yang berlumpur di tengah hutan, menyeberangi Kali, dan mendaki lereng bukit dengan terengah-engah, kami pun sampai di gua yang diceritakan. Benar, gua sangat besar dengan pintu masuk yang lebar dan tinggi dan bagian depan yang merupakan pelataran yang luas. Tetapi karena jauh dari sentuhan kaki manusia, pelataran itu pun tertutup oleh tanaman merambat. Baru setelah memotongi tanaman itu tampak alat-alat serpih batu dan pecahan-pecahan tembikar jaman prasejarah di permukaannya, dan penemuan ini sekaligus meyakinkan kami untuk merencanakan penelitian intensif di tahun berikutnya.

Figuratif dan Non-Figuratif
Lukisan di Gua Harimau terpusat di pojok timur gua dengan sebagian besar pada permukaan dinding yang agak rata. Bahan lukisan yang berwarna merah-kecoklatan akan segera menarik perhatian orang yang berada di sana. Sambil mendongak ke atas kita dapat melihat jelas lukisan-lukisan yang mencengangkan. Pada pandangan pertama, mata kita seolah diarahkan melihat lukisan terbesar berupa anyaman tikar berbentuk segi empat dan di sampingnya terdapat gambar anyaman lagi – juga berbentuk segi-empat, tetapi bertindihan dengan gambar hewan melata (ular?) yang melewati tikar dengan moncong ke atas. Gambar serupa juga dijumpai di bagian lain. Di bawahnya lagi, terlihat seekor hewan berkaki empat- menyerupai rusa. Di sekeliling kedua panel ini masih terdapat lukisan-lukisan: ada yang menyerupai rusa dan ada pula berbentuk ayam dengan ekor yang memanjang miring ke atas. Lukisan-lukisan lainnya sudah tidak menampakkan bentuk asli, karena sudah terhapus. Bagian yang terlihat berupa kaki-kaki hewan, sementara lainnya tinggal gambar-gambar terputus.
Di bagian lain masih banyak lukisan yang terlihat, baik yang agak utuh maupun yang sudah rusak. Beberapa di antaranya menggambarkan hewan menyerupai anjing dan hewan lain yang sulit dikenali. Ada juga gambar-gambar kumpulan garis-garis lurus sejajar vertical, belah ketupat, bulatan-bulatan yang tersusun oleh tiga lingkaran konsentris. Atau gambar yang kelihatannya sekedar olesan cat memanjang pada bagian permukaan yang menonjol, sehingga memfantasikan hewan melata. Di bagian lain tampak pula coretan-coretan berjejer menyerupai tulisan dan gambar-gambar lain yang sulit dikenali karena sudah terhapus.
Keseluruhan lukisan tersebut dapat dibedakan dalam kelompok figuratif berupa benda atau makhluk nyata yang mungkin menggambarkan kehidupan dan kondisi lingkungan yang nyata di kala itu dan kelompok non-figuratif. Kelompok pertama mengkait dengan benda atau. Di sini kita berhadapan dengan produk budaya dalam bentuk tikar sebagai hasil anyaman. Ada pula hewan rusa, anjing, ayam, dll yang di samping hewan liar yang hidup dilingkungan sekitar, kemungkinan – beberapa di antaranya – sudah merupakan hewan domestikasi. Lukisan yang termasuk kelompok abstrak diekspressikan dalam bentuk geometris dan garis-garis. Belum jelas makna dari gambar-gambar itu, tetapi bisa jadi merupakan lambang atau symbol yang mengkait dengan nilai-nilai atau alam pikir si pembuat dan masyarakat di kala itu. Pada Jaman Prasejarah sebagai awal kelahiran seni, seni karang (rock art) mengandung makna budaya, lingkungan, dan sekaligus keindahan.
Posisi lukisan yang cukup tinggi dan tidak mungkin terjangkau tangan manusia berdiri pada dinding gua mengindikasikan pembuatannya yang sulit – mungkin dengan tangga, tetapi untuk lukisan yang di bagian langit-langit, cukup dalam posisi berdiri atau duduk di atas blok gamping yang mengisi ruangan gua. Jika melihat warna lukisan yang monokrom merah-kecoklatan, bisa jadi bahannya dari hematite, oker, atau getah tumbuh-tumbuhan. Analisis laboratoris terhadap bahan memang belum dilakukan, sehingga belum diketahui bahan yang digunakan. Penemuan awal ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab, sehingga menjadi tantangan untuk penelitian lanjutan.

Paradigma Baru
Penemuan lukisan di Gua harimau membuka pandangan baru dalam studi seni karang. Dalam konteks lokal penemuan ini mengisyaratkan Gua Harimau tidak sendiri, tetapi besar kemungkinan ada gua lain yang juga mengandung lukisan. Memang dari sekitar 20 gua yang telah dieksplorasi tim kerjasama Puslitbang Arkenas dan IRD Prancis di awal tahun 2000-an, tidak menemukan lukisan gua, kecuali jejak-jejak hunian dari rentang sekitar 9000-2000 tahun yang lalu. Kondisi inilah yang memperkuat anggapan bahwa lukisan prasejarah tidak ada di wilayah karst Padang Bindu dan sekitarnya.
Kenyataan lukisan Gua harimau telah membalikkan anggapan itu, bahkan dalam konteks makro, memberikan pandangan baru tentang sebaran lukisan gua. Jika selama ini para arkeolog meyakini Sumatra dan Jawa tidak tersentuh oleh seni karang, dengan penemuan ini, anggapan itu menjadisirna. Sumatra (dan barangkali Jawa) sama dengan pulau-pulau lain di nusantara yang mengkonservasi lukisan gua. Budaya seni karang (rock art) yang terbagi atas seni lukis (rock painting) seni pahat (rock carving), dan seni gores (rock engraving), kenyataan tersebar luas di wilayah Indonesia Timur, khususnya di Papua, Sulawesi, dan Maluku. Wilayah sebaran meluas ke wilayah Filipina dan Asia Tenggara daratan, hingga ke Melanesia Barat dan Australia. Di wilayah Kakadu di bagian utara Australia, lukisan gua bahkan sudah dikenal sejak sekitar 30.000 tahun yang lalu. Ada dugaan, wilayah ini merupakan salah satu pusat lukisan gua di dunia dengan sebaran ke Melanesia Barat dan Asia Tenggara.
Pusat lukisan gua lainnya terdapat di kawasan Eropa Barat, khususnya di wilayah Prancis dan Spanyol. Kita masih ingat master piece lukisan-lukisan gua yang mendunia di Gua Lascaux, Prancis Baratdaya dan di Gua Altamira, Spanyol dari Budaya Magdalenian, Paleolitik Atas dengan pertanggalan sekitar 17.000-15.000 tahun yang lalu. Tapi harus diingat penemuan belum lama ini di Gua Chavet dan Cosquer di Prancis Selatan, memperlihatkan lukisan gua sudah dikenal sejak ca. 32.000 tahun yang lalu dalam rentang perkembangan budaya Aurignacian di Eropa.
Bagaimana dengan lukisan gua di Indonesia? Sepengetahuan saya, kita belum memiliki pertanggalan absolut tentangnya. Sejauh ini pertanggalannya baru didasarkan pada analisis kontekstual, dimana lukisan-lukisan umumnya terdapat di gua-gua yang mengkonservasi jejak-jejak hunian dari paruh pertama Holosen. Diduga lukisan gua merupakan bagian dari budaya Preneolitik, budaya yang berkembang sejak akhir Jaman es sekitar 12000 tahun lalu hingga kemunculan Penutur Austronesia di sekitar 4000 tahun lalu. Gua dan ceruk alam menjadi pusat aktivitas manusia di kala itu. Selain sebagai lokasi hunian, gua dimanfaatkan sebagai lokasi perbengkelan pembuatan alat-alat dari batu dan tulang serta lokasi penguburan. Sisa aktivitas dijumpai dalam bentuk alat-alat serpih, alat tulang, sisa tulang hewan buruan, perapian, alat-alat perhiasan, dan kubur-kubur manusia pendukung budaya tersebut.
Bagaimana dengan lukisan Gua Harimau, apakah kontemporer atau bagian yang tidak terpisahkan dari kompleks lukisan gua Indonesia Timur, atau terpisah dari budaya yang lebih kemudian? Jawaban pertanyaan ini masih sangat hipotetis. Kenyataan bahwa lukisan berada pada sebuah gua yang mengkonservasi tidak hanya tinggalan dari kehidupan berburu dan meramu Preneolitik, tetapi juga dari periode sesudahnya – kehidupan menetap Neolitik yang ditampakkan oleh tinggalan kubur-kubur manusia yang sangat menonjol di dalam gua. Pembuatan lukisan ini boleh jadi bagian dari salah satu budaya tersebut. Jika identifikasi anjing dan ayam benar ada dalam lukisan, maka data ini merujuk pada budaya Neolitik yang telah mendomestikasikan hewan. Namun perlu dicatat, sejauh ini lukisan gua lebih diasosiasikan pada budaya Preneolitik, bukan Neolitik.
Di sisi lain, studi regional lukisan gua lebih merujuk pada budaya Preneolitik. Kenyataan lukisan Gua Harimau memiliki kesamaan-kesamaan dengan lukisan gua Preneolitik pada umumnya. Cat tunggal yang berwarna coklat-kemerahan sangat umum dijumpai pada lukisan di Indonesia Timur, walaupun di wilayah ini ada juga menggunakan pigmen hitam dan putih. Demikian juga lukisan figuratif yang bercampur dengan non-figuratif sangat umum dijumpai pada lukisan-lukisan gua. Perbedaan-perbedaan yang ada lebih pada jenis-jenis figur (hewan, dll) dan motif-motif lukisan, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan pemikiran komunitas setempat.
Silang argumen di atas merupakan contoh yang menegaskan perlunya penelitian lanjut di Gua Harimau. Penemuan ini baru pada tataran awal yang membuka perspektif baru dalam penelitian arkeologi di Indonesia. Kini sebuah tantangan dihadapkan pada kita untuk menelusuri arti dan fungsinya, tidak hanya dalam konteks budaya lokal, tetapi terlebih lagi dalam budaya regional di masa lampau.

Truman Simanjuntak
Ahli Peneliti pada Pusat penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Direktur Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS)
simanjuntaktruman@gmail.com

Label:

AUSTRONESIAN IN SULAWESI

Book review:

AUSTRONESIAN IN SULAWESI

Writers : Researchers from different disciplines

Editor : Truman Simanjuntak

Publisher : Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS), Jakarta

First published :2008


The strategic geographical position of Sulawesi, in the center of the archipelago, makes this island as a crossroad for human and cultural diaspora throughout the time. One of the most outstanding role of this island is concerning the dispersal of the Austronesian-speaking people and their typical culture – the Neolithic. Radiometric dates from Minanga Sipakko site and other Neolithic sites in its surrounding confirmed that they had been there since ca. 3,600 BP. This is the oldest convinced date so far over the Indonesian archipelago, meaning that Sulawesi has an important role in the regional Austronesian-speaking people diaspora in prehistoric time.

The Austronesian-speaking people spread in Sulawesi and entered the interior areas by utilizing rivers as the center of orientation and sailing route. They occupied places where the environmental resources available or rich. Their cultural development can be divided into 3 periods: from the prehistoric period (c. 3600 BP and 2500/2000 BP), protohistoric period (c. 2500/ 2000 BP - c. 400 AD), to the historic period (400 AD - now). The prehistoric period which perdured more than 1000 years was characterized by the river bank settlements, animal hunting, water biota exploitation, horticulture activity, and the stone adze industry. Red-slipped pottery, a typical early Neolithic pottery, was prominent in the early occupation, but in the second half of period it was substituted by worse baked pottery and pottery rich in decorations. The similarities of Minanga Sipakko artifacts (pottery, stone adzes, etc.) with the other sites within and outside of Sulawesi point out the regional interrelationship of Sulawesi with its surroundings area.

The Austronesian prehistoric life was continued into the protohistoric and historic periods. The processes of adaptation with diverse environment and natural sources, as well as the limited contact with the outside world by geographical barriers, have caused the Austronesian people and cultures gradually develop in each area. By and by this condition created local unique identity, as seen in the aspects of language, subsistence, technology, custom (tradition), art, etc. This phenomenon caused the Austronesian culture to develop, as elsewhere in the archipelago, characterized by diversity in unity (Bhinneka Tunggal Ika).



Contact: cpas.indonesia@gmail.com

Label: